Saat itu lagi tai-tai nya

Tahun pertama sangat menyenangkan, mengenalnya lebih dalam sampai ke dalamannya. Tahun pertama ini merupakan pertama kali dalam hidup saya. Sering-seringnya ketemu, sering-seringnya meluangkan waktu untuknya. Malu-malu waktu ketemu mulai hilang dan dia pun terbuka tentang hal apapun begitupun saya suka buka-buka punya dia, buka buku diarinya yang saat itu merupakan hal paling privasi untuk insan muda saat itu. Dia orangnya manis, suaranya merdu dan hiperaktif karena kebanyakan mengkonsumsi gula. Saya orangnya cuma cengengesan doang karena itu keahlian saya dan tidak jarang kena marah para pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal mereka juga suka cengengesan cuman dipendem aja biar jadi joker. Di 365 hari pertama tidak ada berhentinya berkomunikasi, bela-belain provider nya sama biar dapet sms gratis dan telpon murah setiap hari. Tidak ada gonjang-ganjing di tahun pertama begitu monoton.

Tahun kedua menyenangkan namun tidak semenyenangkan saat tahun pertama. Saya sudah lebih mengenal dia baik dan buruknya. Kebaikkan dan keburukannya ternyata membuat saya tidak nyaman, lalu bagaimana menilai seseorang baik atau buruk? Baik atau buruk merupakan suatu preferensi masing-masing individu dan nilai-nilai yang ditanamkan keluarga kepada kita saat kecil, namun hal itu dapat berubah berdasarkan lingkungan yang mempengaruhinya. Memang benar lingkunganlah yang membentuk karakter seseorang. Tahun kedua ini dijalani masih nyaman dengan sedikit gangguan, mulai tidak suka dengan sifatnya yang tidak enak-an dan membiarkan orang lain masuk ke kehidupannya, apakah hal itu berlaku juga untuk saya? Saya tidak tahu, mungkin saja iya. Saya mencoba untuk tidak peduli hal itu dengan masuk ke dunia baru, new world order.

Tahun ketiga cukup menyenangkan, naik turun suatu hubungan sudah mulai terasa nikmat. Tahun ketiga dia pergi menuju kota asalnya karena orangtuanya harus pindah kerja. Disana terlihat kesedihan dalam dirinya harus menjalin suatu hubungan jarak jauh alias LDR an. Saat itu saya tidak tahu apa itu LDR, wajarlah ya kan baru pertama kali. Sempat dia bertanya, "Gak apa apa kan?", ya saya sih gak apa-apa dengan LDR sekalian nyari pengalaman kan ya siapa tahu diterima kerja di Tinder. Tapi bener sedih banget saat itu entah apa yang merasukiku, ku usap air mata di pipinya berasa laki banget deh pokonya. Dan akhirnya diajak makan siang dirumahnya saat itu sekaligus tukar kado sebagai tanda perpisahan dengannya.

Tahun ketiga semester genap tidak ada yang menyenangkan, isinya cuma masalah dan masalah. Kecemburuan terus menjadi sebuah sumberdaya manusia yang terus dieksploitasi sedangkan rasa percaya menjadi sebuah limbah yang gamau di daur ulang jadinya mencemari lingkungan kami. Sehingga saya banyak protes dan menggelar demonstrasi lewat telepon. Akhir dari sebuah obrolan selalu saja putus karena pulsa tidak cukup untuk melakukan panggilan. Diperparah lagi dengan pernyataannya untuk bertemu orang lama karena kasihan dia udah datang jauh-jauh membuat saya juga mengeksploitasi kecemburuan dan tidak mendaur ulang limbah rasa percaya. Entah apa yang merasuki dia, mereka berjalan ke tempat-tempat yang bahkan saya pun belum pernah kesana. Semenjak itu rasa teh tarik jadi rasa lemon tea, asem-asem seret bikin pengen beli minum lagi tapi untungnya ada air putih gratis di warkop.   

4 tahun sudah dilewati emang sih banyak banget jatuh bangun, naik turun sebuah hubungan (naik turun itu enak). Entah kenapa memang sebuah hal yang wajar bila jarak yang jauh pasti mahal ongkosnya, beda kalo deket pasti murah (kalo naik angkot). Jarak yang jauh ini membuat saya lapar dan haus diperjalanan, tapi ada aja orang yang membagikan makanan dan minumannya kepada saya hingga saya lupa. Saya lupa kalo saya sudah sampai ditujuan dan tetap melanjutkan perjalanan dengan orang baik tadi karena dia tidak bosan-bosannya mengobrol dengan saya. Entah kenapa tujuan saya berubah padahal saya gapunya uang lagi buat bayar ongkos, apakah saya harus meminjam uang orang baik itu? Sejenak saya melupakan tujuan awal saya tetapi selalu ke recall lagi ke dalam pikiran saya bahwa saya tidak punya ongkos. Apakah saya harus kembali ke tujuan awal saya? Sayangnya tidak semudah itu, sudah saya jual semuanya supaya dapat ongkos dan perbekalan. Berangkatlah saya dan berpisahlah dengan orang baik itu dan berharap bisa bertemu lagi nanti. Ada hal yang aneh ketika saya berangkat menuju tujuan awal saya, entah kenapa tempat itu menjauh hingga akhirnya saya tidak pernah sampai ke tujuan itu dan jadi gembel diperjalanan. Selama jadi gembel saya selalu berpikir, "ngapain saya jual barang berharga saya ya kemarin, kan jadi susah gini". Tidak lama saya bertemu orang baik yang menemani saya diperjalanan dan mengantarkan saya pulang ke rumah. Sangat beruntungnya saya karena ongkosnya dibayarin sama dia.

Komentar